Feb 9, 2011

Genuine Leather = Aman??


Seperti yang saya katakan pada teman saya, this is just a glimpse of thought. Maka mari dimulai saja. Jangan dihakimi donk saya, karena yang boleh menghakimi hanya Tuhan dan yang bisa menghakimi hanya FPI.. *eaaa.. *hush hush!!

Siang ini, saya dihubungi teman saya, Tamie, via Twitter. Ia ingin menawarkan apa saya mau memasukkan produk saya ke jurnal tempat ia bekerja karena di edisi yang akan datang, ia akan membahas tentang Produk Kulit yang Aman bagi Lingkungan. JRENG!! Saya bengong. Hmmm. How to say it ya?

Saya mengakui saya memang memakai produk kulit asli pada brand saya yang Indira Soetrisno. Koleksi pertama saya memakai kulit ular, koleksi kedua nanti saya memakai kulit sapi. Dan saya pernah menulis tentang ini di blog saya terdahulu. Kalau ingin membacanya, monggo lho klik AHA! ini. :) Saya sudah membekali diri saya tentang pengetahuan penyamakkan kulit dan saya termasuk yang cerewet menanyakan ini itu pada supplier saya (yang adalah langsung penyamak, bukan hanya penjual) untuk meyakinkan diri saya bahwa kulit yang saya beli adalah legal. Sesuai dengan hukum. Tetapi saat Tamie mengemukakan produk kulit yang aman bagi lingkungan, saya perlu beberapa menit untuk mencernanya. Emang ada ya produk kulit yang aman bagi lingkungan? Sepertinya ada kata yang tidak sesuai di sini. Hmm.

Menurut saya pribadi, TIDAK ADA PRODUK KULIT YANG AMAN BAGI LINGKUNGAN. Titik. Saya tidak pernah mengatakan produk kulit saya aman bagi lingkungan, saya hanya pernah mengatakan bahwa kulit yang saya pakai untuk produk saya telah diproses mengikuti prosedur yang sesuai dengan standar yang dibuat pemerintah. Standar yang dibuat pemerintah, saya meyakini, adalah standar yang sudah sesuai sehingga tidak terlalu merusak lingkungan. Garisbawahi: tidak terlalu. Dampak negatif, pasti ada. Tapi sudah masuk dalam perhitungan. Perhitungannya seperti apa? Maka ijinkan saya mengumpulkan uang dl sehingga saya bisa ke Sumatra untuk udek2 surat standar pengolahan kulit yang dimiliki supplier saya. Hehe.

Tapi, pemikiran ini sedikit mengusik saya lagi. Saya memang bukan aktivis lingkungan, tapi saya selalu berusaha untuk meminimalisir kerusakan lingkungan, setidaknya dimulai dari diri saya sendiri. Maka saya jadi kembali mempertanyakan diri saya. Bulan, kalo elo tau kulit itu tdk aman bagi lingkungan, knapa masih loe pake?? Nah respon dari pertanyaan barusan adalah munculnya pertanyaan lain di benak saya, jadi kalau kulit hewan itu tdk disamak dan dibuat produk komersil, akan diapakan kulit itu? Setahu saya, kulit sapi dan kambing itu tdk masuk dalam tentengan bagi yang kurang berpunya saat Idul Adha, jadi kulitnya untuk apa donk? Dibuang? Mubazir donk. Dan bukankah membuang kulit itu juga mencemari lingkungan?

Maka sesampainya di rumah, saya menghubungi teman berbagi saya, Silka. Kalimat pertama saya adalah, "Silka, enlighten me.." Hehehe. Dan mulailah perburuan informasi tentang ini oleh saya dan Silka. Beberapa info yang saya dapat adalah:

Bahwa kulit hewan itu memang dianggap limbah. Ini dikemukakan Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesmavet daerah Garut. Dan memang kulit2 hewan ini dijual kepada penyamak. Nah jika limbah, maka alangkah baiknya jika bisa dinaikkan nilai jualnya. Caranya adalah dengan menyamak kulit itu sehingga menjadi bahan baku siap pakai untuk kemudian dibuat menjadi sepatu, tas, dompet, dll.

Lalu, ini adalah kutipan yang diambil Silka (jg dr internet)..

"The manufacture of leather does  have an environmental impact, in as much as in the manufacturing process not all the inputs end up in the leather. Also when leather is disposed of the product becomes a waste material. What seems to have happened is that the gauge of leather's "econess" is measured by the absence of certain restricted chemicals, such as banned azo dyes, PCP, Chrome VI, formaldehyde and an increasing list specified by brands, or the method of tannage rather than any consideration of the real environmental impact.

In the strict verbal sense of the definition, the term "eco leather" has no formal meaning. However, there is significant interest in leathers that imply improved environmental performance."

Membaca itu, maka saya langsung bbm supplier saya untuk menanyakan apakah memakai bahan2 kimia yang disebutkan di atas, dijawab hanya satu dari tiga itu yang dipakai yaitu formaldehyde. Saya tanya apakah pemakaian formaldehyde itu tdk bs diganti? Dijawabnya tdk bs karena hanya bahan kimia itu yang dijual di Indonesia (yang dpt digunakan untuk penyamakan). Lebih lanjut, supplier saya mengatakan bahwa pemakaiannya masih dalam tingkat normal sesuai dengan standar pemerintah. Oh, saya lega. Hehehe.

Jadi sekali lagi, pendapat saya adalah TIDAK ADA PRODUK KULIT YANG SEPENUHNYA AMAN BAGI LINGKUNGAN (dalam proses produksinya). Keseluruhan proses penyamakan kulit menjadi bahan baku industri memang meninggalkan sisa sampah yang dapat membahayakan lingkungan. Tapi dengan ketepatan proses produksi, maka sisa sampah itu dapat diminimalisir sehingga TIDAK TERLALU merusak lingkungan. Demikian Tamie. Demikian teman2. :)

Jadi saya masih boleh donk pake bahan baku kulit untuk produk saya. Perbandingannya, produk kulit yang saya pakai hanya 20% dr keseluruhan penjualan kok, 80%-nya (produk Moonaddict), memakai pleathers --> plastic leathers A.K.A kulit sintetis. Hehehe. Boleh donk boleh donk boleh donk (deh sih loh kok ah..) :)

Senyum dulu ah.. :)

2 comments:

  1. overall, always be the big fan of your shoes!!!! :) :) :)

    ReplyDelete