Feb 6, 2013

Untuk kehilangan.. Saya menyimpan..1

2005 itu sudah lama lewat.
Tahun ketika saya akhirnya menjadi anak tanpa kehadiran ayah di samping saya.
Tuhan lebih sayang papa.
Dan saya merelakannya untuk kembali dalam peluk kasih Tuhan.
Karena saya tahu, papa pasti berbahagia di sana.
Tidak lagi sakit.
Tidak lagi harus berjuang.
Tersenyum dalam damai.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa hari lalu, Lady, teman kuliah saya harus merelakan ibunya kembali dalam peluk kasih Tuhan. Entah, mungkin lebih berat bagi anak perempuan untuk kehilangan sosok ibu di sampingnya dibanding saya yang kehilangan sosok papa. Tapi apapun, itu tetap kehilangan.

Dua hari lalu, teman baru di Twitter, Ale, juga mengungkapkan kedukaannya karena tidak sempat membuat video yang banyak tentang ibunya karena ia merasa masih ada banyak waktu untuk bersama beliau. Yang ia tidak tahu, Tuhan punya rencana lain. Ibunya Ale kembali ke pelukan Tuhan. Sebelum banyak video tentangnya terkumpul.

Kami berduka. Ya.
Kehilangan seseorang yang tak dikenal namun memiliki pengaruh pada hidup kita aja sudah berat.
Apalagi ini....keluarga....orang terdekat.

Hingga sekarang saya masih ingat momen ketika papa akan menghembuskan napas terakhirnya. Papa tidak meninggal dalam pelukan saya. Bahkan tidak di depan mata saya. Tapi saya cukup beruntung untuk bisa menikmati waktu terakhir bersama papa.

Beberapa minggu sebelum papa pergi, papa minta saya kembali ke rumah. Saya pamit sama ibu kos dan memboyong pakaian saya kembali. Menemani papa. Were I sitting beside him all the time? Nope. Not that dramatic. Sorry. Hihihi.

Sehari sebelum papa pergi, papa manggil saya dan Mbak Parni (ART yang akhirnya dikursuskan menjadi suster untuk merawat papa), katanya penglihatan papa membaik! Sebelumnya, kemampuan melihat papa memang tinggal 10-20%. Papa bilang, "Dek, papa bisa lihat nih! Papa bisa lihat di bagian sini (nunjuk depannya di arah lemari) terang sekarang! Bisa lihat nih!". Saya dan Mbak Parni lihat-lihatan. Kami tahu, waktunya akan datang. Saya jawab, "Oya Pah? Wah bagus donk! Membaik ya penglihatannya." and I gave him my widest smile. Yes something was happening. Dan Tuhan berbaik hati mempersiapkan saya untuk itu.

Esoknya, papa mengeluh tidak enak badan. Kami tanya apa mau dipijat? Katanya engga. Mau dielus? Katanya engga. Trus mau apa?

Katanya mau ke rumah sakit. Dan maunya dijemput ambulans. Deilah drama banget dah papa. :))) Padahal dua mobil ngejogrok di garasi. Tapi ya baiklah, saya nelpon rumahsakit untuk minta ambulans menjemput. Agak bengong bego dulu gitu pas rumahsakit nanya penyakitnya apa sampe harus dijemput ambulans. Lha piye, wis komplikasi jhe, mana yang disebut dulua inih?? -_____-

Jam 8 malam lewat, ambulans datang, bener juga sih papa minta dijemput ambulans, karena papa sudah nggak bisa berdiri, jadi agak susah kalau saya, Mbak Parni, Mbak Pariah, dan Kak Ari yang angkat papa. Mari serahkan pada yang berwenang: mas-mas ambulans. Hehehe. *peace*

Papa di ambulans sama Mbak Parni sementara saya bawa mobil ngekor di belakang. Papa masuk UGD trus krik krik krik....Didiemin aja donk!! Pffft... Pas saya selesai bayar pendaftaran dan dua kali bilang ke suster (yang pertama lembut ya sus, yang kedua maapkan agak galak..situ kerja di UGD napa cekikikan ngobrol sama suster lain, bukan ngurus papa saya?? *gergaji*), akhirnya papa ditangani juga. Dokter bingung sih papa kenapa secara sakitnya emang uda lama dan nggak ada keluhan penyakit lain saat itu. Kalau papa bilangnya: kakinya sakit, badannya sakit, kepalanya pusing. Ya semua sakit lah. Hihihi. Random abis gitu papa saya. -____- Papa keukeuh mau opname. Ya baiklah, mari Jendral, kita urus opnamenya. Mas Tian datang nemenin saya urus segala sesuatu. Papa masuk kamar malam itu. Sudah jam 12 lewat, saya pulang, gantian dengan Kak Ari.

Pas di jalan pulang, sambil nyetir saya doa sama Tuhan. Minta kalau menurut Tuhan yang terbaik untuk papa adalah bersamaNya, maka saya minta papa diambil. Kalau menurut Tuhan yang terbaik adalah papa bersama kami, saya mohon dikurangkan sakitnya. Nyetir malam-malam sambil berucap doa sambil nangis: LENGKAP sudah drama idup saya. Hihihi. Untung ga pake maskara. Kalau iya kan nakutin banget kalau mbleber!!! *merusak suasana ya lelucuan saya.. :p* Jangan sedih-sedih ah.. :p

Jam 5 pagi Tuhan jawab doa saya.
Papa diambil Dia. :)

Kak Ari nelpon saya dan saya dengan blank mundurin mobil sampe nabrak bak sampah tetangga depan. Bahahaha. Maap ya Tante Jaya. *salim* Sampai di rumahsakit, Kak Ari gantian drama dah pake nangis-nangis. Saya cuma bisa bilang, "Iya iya kak. Sudah sudah.", nengok papa sebentar, cium kening papa, berdoa, terus cuss ke administrasi. Dingin. Iya dingin. Saya dikasih Tuhan waktu 5 jam untuk bersiap dan saya siap ketika papa pergi. Saya minta yang terbaik untuk papa, Tuhan kasih jawaban, saya nerima. Selesai urusan.

Tapi tau perkataan 'musibah itu menguatkan'?
Nah saya mengalaminya.
Saya merasa kuat saat itu.

Sebelum papa meninggal, ada masalah di kantornya. Salah satu anak buah papa 'membangun' perusahaan lain dan 'membajak' klien papa even saat dia masih kerja di papa. Perusahannya bergerak di bidang yang sama. Jadi dia mindahin klien papa ke perusahaan barunya. Hehehe. Sedihnya lagi, beberapa karyawan ikut masuk ke perusaahan si orang itu. Tanpa one month notice! Udah keluar aja gitu. :p Nah pas saya lagi urus administrasi papa, satu anak buah ini deketin saya donk. Trus bilang turut berdukacita sambil bilang betapa papa baik sudah membesarkan dia, ngajarin dia ini itu. Hayyaaaaa. Saya orang yang jarang kasar sama orang sih, eh pas dia ngomong gitu, saya keluar taring aja loh. Saya jawab, "Iya, makasih mas. Permisi, saya mau urus admin dulu. Ga usah ngomong lagi" Buahahahahaha. *salam metal* *kaki mekangkang*

Lanjut di bagian 2 ya.. Panjang dah..

No comments:

Post a Comment